Ancaman Kejahatan Siber dan Perdagangan Manusia: Larangan Bekerja di Thailand, Myanmar dan Kamboja
![]() |
Ilustrasi Perdagangan Manusia (Foto: Dok Istimewa) |
sepintasnews.web.id - Pemerintah Indonesia telah melarang warganya
untuk bekerja di Kamboja, Thailand, dan Myanmar. Langkah ini diambil untuk
melindungi warga negara Indonesia dari risiko perdagangan manusia yang sering
terjadi di area tersebut. Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI),
Abdul Kadir Karding, menegaskan bahwa tidak ada kerja sama resmi terkait
penempatan tenaga kerja dengan ketiga negara ini. Akibatnya, semua WNI yang
bekerja di sana dianggap ilegal dan sangat rentan terhadap eksploitasi dan
perdagangan manusia.
Larangan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya kasus penipuan
kerja di Kamboja dan Myanmar, terutama di Myawaddy. Banyak WNI tertipu oleh
tawaran pekerjaan bergaji tinggi tetapi akhirnya terjerat dalam jaringan
kriminal, termasuk kejahatan siber dan perjudian online ilegal.
Pada 18 Maret 2025, pemerintah berhasil memulangkan 554 warga negara
Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia di Myanmar. Mereka dievakuasi
melalui Thailand sebelum diterbangkan kembali ke Indonesia. Tindakan ini
menunjukkan komitmen tegas pemerintah untuk melindungi para pekerja migran dari
eksploitasi.
Pemerintah juga menghimbau masyarakat agar tidak tergiur oleh tawaran
kerja di ketiga negara tersebut, terutama dari agen atau pihak yang tidak
memiliki kredibilitas. Calon pekerja migran disarankan hanya bekerja di
negara-negara yang memiliki perjanjian formal dengan Indonesia dan mengikuti
prosedur resmi. Selain itu, pengawasan terhadap agen tenaga kerja akan
diperketat untuk mencegah rekrutmen ilegal. Sosialisasi mengenai risiko
perdagangan manusia akan terus digalakkan agar masyarakat lebih waspada terhadap
berbagai modus penipuan.
Situasi di Myanmar memburuk akibat konflik bersenjata dan
ketidakstabilan politik. Baru-baru ini, sebuah serangan oleh helikopter militer
terhadap kelompok pemberontak di perbatasan Myawaddy telah menarik perhatian.
Ancaman datang tidak hanya dari situasi internal Myanmar, tetapi juga kepada
komunitas internasional, karena kota ini menjadi sarang kejahatan global,
termasuk penipuan siber.
Di perbatasan Myanmar dan Thailand, ada area tertutup yang menjadi
pusat kegiatan ilegal. Laporan aparat menunjukkan bahwa di balik pengamanan
tersebut, para peretas menjalankan skema investasi kripto palsu. Shwe Kokko,
yang awalnya dibangun oleh investor asal Cina sebagai pusat digital, kini
berubah menjadi pusat perjudian dan penipuan siber. Aktivitas terlarang di kota
ini, menurut PBB, meraup miliaran dolar setiap tahun.
Pada malam hari, Shwe Kokko bersinar dengan fasilitas modern yang tidak terlihat di bagian lain negara Kayin, Myanmar. Seorang mantan pekerja dari perusahaan ilegal mengungkapkan bahwa pusat-pusat penipuan, sebagian besar sebelumnya berlokasi di Laos, telah ditutup sejak November dan pindah ke Shwe Kokko. Ia mengatakan bahwa satu perusahaan saja bisa memiliki 50 lantai, masing-masing menargetkan hingga 150.000 dolar AS per bulan. Total pendapatan tahunan dari kegiatan penipuan tersebut dapat melebihi 100 juta dolar AS. Interpol memperkirakan kejahatan siber di Asia Tenggara bernilai sekitar 3 triliun dolar AS per tahun, setara dengan produk domestik bruto (PDB) Prancis. Dengan perkembangan kecerdasan buatan (AI), situasi ini diperkirakan akan semakin memburuk. Penggunaan malware, teknologi AI generatif, dan deepfake semakin mempermudah pelaku kejahatan.
Di tengah kekacauan akibat perang saudara dan pemerintahan militer di Myanmar, negara ini semakin terjebak dalam krisis berkepanjangan. Sumber mengungkapkan bahwa jika kelompok bersenjata tertentu mengambil alih, Myanmar terancam menjadi negara gagal. Meski konflik bersenjata mungkin luput dari perhatian internasional, pesatnya kejahatan siber menjadi ancaman global serius yang tidak bisa diabaikan.